TEMPO.CO, Jakarta – Sekitar seribu dokter berunjuk rasa di depan Istana Negara, hari ini, Senin, 24 Oktober 2016. Mereka berdemonstrasi karena menolak program pemerintah yaitu pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP).

Mereka beralasan program tersebut hanya membuang-buang anggaran negara serta membutuhkan waktu yang lama. “Bayangkan saja, dokter harus sekolah sembilan tahun,” kata seorang dokter asal Jawa Tengah, Yusi Febrianto, yang ikut berunjuk rasa di Istana Negara, kepada Tempo, Senin, 24 Oktober 2016.

Febrianto menjelaskan, para dokter galau dengan program Dokter Layanan Primer kendati pemerintah beralasan agenda tersebut bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dokter. Kegalauan itu, kata dia, didasari karena untuk mengikuti serangkaian pendidikan hingga mencapai predikat dokter layanan primer membutuhkan waktu sampai sembilan tahun.

Ia mengatakan pendidikan dasar dokter strata satu di fakultas kedokteran sudah tergolong lama yaitu enam tahun. Setelah itu, dokter diharuskan mengikuti program internship selama satu tahun. Lalu, pendidikan akan ditambah lagi selama dua tahun jika harus mengikuti program DLP.

Febrianto mengatakan persoalan belum tuntas apabila peserta program ini adalah perempuan. Mereka harus menghabiskan usai sampai 28 tahun untuk bisa lulus menjadi dokter. Lama pendidikan itu terhitung dari lulus SMA dengan usia 19 tahun dan harus mengikuti sembilan tahun pendidikan kembali untuk menjadi dokter. Sedangkan menurut dia, umur 28 tahun bagi perempuan tergolong usia yang tidak muda untuk menikah.�Lalu ia menceritakan teman-temannnya yang tidak bisa lulus tepat waktu untuk menjadi dokter apabila di tengah perjalanan mereka menikah.

Menurut Febrianto, program tersebut tidak pro rakyat. Sebab, kata dia, lulusan dari Dokter Layanan Primer tetap saja mengabdi menjadi dokter umum biasa. Padahal kebutuhan dokter di daerah masih terbatas.�Dia menilai lebih baik biaya yang dianggarkan untuk pendidikan Dokter Layanan Primer dialokasikan untuk pengadaan fasilitas layanan kesehatan di daerah.

Juru bicara aksi damai Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Agung Sapta Adi menilai program tersebutpercuma dilaksanakan. Alasan dia, selain menghabiskan anggaran, program itu tak menyelesaikan persoalan pada pelayanan kesehatan.

Agung mencatat ada beberapa poin yang sebaiknya dibenahi pemerintah untuk mereformasi sistem pendidikan dokter di Indonesia. Ia mencontohkan, masih ada pendirian fakultas kedokteran yang belum mengikuti ketentuan berupa rekomendasi dari tim penilai. Selain itu biaya pendidikan masih tergolong tinggi yang sulit dijangkau masyarakat menengah ke bawah. Tercatat biaya pendidikan dokter setiap semester mencapai Rp 50-75 juta per mahasiswa.

ketua IDI jateng
Ketua IDI wilayah jateng berorasi dalam aksi damai dokter Indonesia

Dari segi akreditasi, kata Agung, masih banyak fakultas kedokteran yang memiliki nilai B dan C. Pada 2015, dari 75 fakultas kedokteran, ada 60 fakultas yang memiliki akreditasi B dan C. “Intinya kalau pemerintah ingin memperbaiki fasilitas layanan kesehatan harus secara komprehensif,” kata Agung.

Pengurus IDI Cab kota Semarang

Menurut Agung, program ini tidak jauh berbeda dengan hasil lulusan dokter umum. Ia menilai DLP merupakan program sepihak dari Kementerian Kesehatan karena program itu belum secara tuntas dibahas pada tingkat organisasi profesi dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

Disamping itu, kata dia, program Dokter Layanan Primer� terkesan dipaksakan berjalan padahal peraturan pendukung Undang-Undang Nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran berupa peraturan pemerintah dan peraturan menteri.

DANANG FIRMANTO
(Sumber : tempo.co)

 

 

SHARE